Sejarah Asuransi Syariah
Lembaga asuransi sebagaimana dikenal sekarang sesungguhnya tidak dikenal pada masa awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan bahwa asuransi tidak dapat dipandang sebagai praktik yang halal. Walaupun secara jelas mengenai lembaga asuransi ini tidak dikenal pada masa Islam, akan tetapi terdapat beberapa aktivitas dari kehidupan pada masa Rasulullah yang mengarah pada prinsip-prinsip asuransi.
Misalnya konsep tanggung jawab bersama yang disebut dengan sistem aqilah. Sistem tersebut telah berkembang pada masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah SAW. Sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu bahwa, jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh.
Saudara terdekat pembunuh tersebut harus membayar uang darah (yang disebut Aqilah) atas nama pembunuh.
kemudian pada zaman Rasulullah SAW. atau pada awal masa Islam sistem tersebut dipraktikan di antara kaum muhajirin dan anshar. Sistem aqilah adalah sistem menghimpun anggota untuk menyumbang dalam suatu tabungan bersama yang dikenal sebagai “kunz”. Tabungan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak sengaja dan untuk membebaskan hamba sahaya.
Pada perkembangan selanjutnya, aqilah diterima menjadi bagian dari hukum Islam, seperti hadist berikut: “Diriwayatkan oleh Abu Hanifah yang mengatakan: pernah dua wanita dari suku Huzail bertikai ketika seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu yang mengakibatkan kematian wanita itu dan jabang bayi dalam rahimnya.
Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan Nabi Muhammad SAW yang memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh saudara pihak ayah (aqilah) dari yang tertuduh. Itulah yang menjadi dasar munculnya lembaga – lembaga asuransi pada masa sekarang ini.
Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia
Pesatnya perkembangan lembaga-lembaga asuransi di Indonesia baik yang konvensional maupun syariah, menunjukan besarnya minat masyarakat Indonesia terhadap produk asuransi. Terutama asuransi syari’ah, keberadaannya tentu sangat dinantikan oleh kaum muslim untuk menjawab kebutuhan mereka akan lembaga asuransi yang aman dan sesuai syari’ah.
Meskipun asuransi pernah dan masih menjadi suatu perdebatan (pro-kontra) seputar hukumnya menurut syara’, tetapi secara de facto, umat Islam membutuhkan keberadaan lembaga asuransi yang berdasarkan syari’ah, bebas dari praktek riba, gharar dan maisyir.
Berkenaan dengan hal tersebut, berdirinya lembaga asuransi syari’ah baik yang berdiri sendiri maupun berupa kantor cabang yang berada di bawah lembaga asuransi konvensional, merupakan representasi dari pemahaman umat Islam terhadap prinsip-prinsip mu’amalah (hukum ekonomi Islam).
Asuransi syari’ah juga merupakan salah satu instrumen lembaga keuangan syari’ah yang memfokuskan usahanya pada penyediaan produk pertanggungan atau penjaminan resiko (asuransi) dengan cara bagi hasil mudharabah atau profit and loss sharing. Asuransi syari’ah berupaya mengimplementasikan prinsip-prinsip ekonomi Islam dari Al-Quran dan Sunnah agar dapat dijabarkan dalam kehidupam secara praktis.
Kedudukan asuransi syariah akan berperan penting dalam pembangunan ekonomi jika mendapatkan dukungan pemerintah dan masyarakat. Pemerintah tidak dapat mengabaikan kepentingan bagi perkembangan asuransi syari’ah di Indonesia, sebab ia merupakan salah satu unsur penunjang dalam pembangunan ekonomi.
Bahkan, jika dibandingkan dengan bank syari’ah yang telah bergulir sejak tahun 1990-an, asuransi syari’ah telah tumbuh dan berkembang cukup baik karena mendapat dukungan positif dari masyarakat.
Belajar dari pengalaman Bank Syari’ah, lebih tepatnya ketika UU No. 7/1992 direvisi dan digantikan oleh UU No. 10/1998, eksistensi lembaga perbankan syari’ah di Indonesia semakin tegas dan jelas dalam mengimplementasikan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing).
Ketentuan pasal 6 point m dalam UU No. 10/1998 menyebutkan bahwa bank konvensional dapat menyelenggarakan unit layanan syari’ah dengan cara dual banking system. Sesuai dengan ketentuan tersebut, lembaga keuangan konvensional dapat beroperasi dan menyelenggarakan jasa keuangan syari’ah.
Keadaan tersebut sedikit berbda dengan asuransi, di mana UU No.2/1992 tentang perasuransian masih belum tegas mengatur bagaimana mekanisme penyelenggaraan asuransi syari’ah. Namun demikian, pemerintah tetap membuka ruang kepada perusahaan asuransi konvensional untuk membuka cabang atau unit layanan syari’ah dengan cara dual insurance system.
Pada saat yang bersamaan, yang menjadi tantangan asuransi syari’ah adalah perlunya pembenahan kelembagaan, baik itu dari segi manajemen maupun operasionalnya, agar mampu bersaing positif dengan asuransi konvesional.
Oleh karena itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah partisipasi dari semua pihak, baik itu pakar ekonomi Islam maupun praktisi asuransi syariah dan seluruh masyarakat Indonesia. Ini menjadi salah satu upaya untuk merumuskan kembali falsafah dasar nilai-nilai ekonomi Islam, mencari rumusan dasar yang lebih baik bagi pembentukan platform asuransi syari’ah yang ideal serta sejalan dengan proses pencapaian tujuan ekonomi Islam dan pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.